THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 12 Januari 2012

STUDI BANDINGAN LEGENDA ASAL MULA KOLAM SAMPURAGA DARI MANDAILING NATAL SUMATERA UTARA DENGAN LEGENDA GUNUNG BATU BANGKAI DARI KALIMANTAN SELATAN


STUDI BANDINGAN LEGENDA ASAL MULA KOLAM SAMPURAGA DARI MANDAILING NATAL SUMATERA UTARA DENGAN LEGENDA GUNUNG BATU BANGKAI DARI KALIMANTAN SELATAN

I.       PENGANTAR
Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa yang mempunyai kekayaan produk sastra, baik itu berupa sastra tulis maupun sastra lisan. Sastra tulis berkaitan dengan kemampuan masyarakat menuangkan kreativitasnya dalam bentuk tulisan setelah mereka mengenal aksara, sementara sastra lisan berkaitan dengan kemampuan masyarakat menungangkan kreativitasnya  secara verbal, dari mulut kemulut, dari generasi ke generasi, yang memungkinkannya berkembang secara terus-menerus.
Salah satu bentuk sastra lisan yang paling banyak diteliti adalah cerita prosa rakyat. Seperti yang di kemukakan Bascom (dalam Danandjaya,1991 : 50), cerita prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu (1) mite (myth), (2) legenda (legend), dan (3) dogeng (folktale). Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada objek sastra lisan yang berupa legenda. Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Selain itu, tokohnya adalah manusia biasa, ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang dikenal pada saat ini dan belum terlalu lampau.
Di antara sekian banyak legenda yang ada dan berkembang di masyarakat Indonesia, di pilih legenda Asal Mula Kolam Sampuraga yang berasal dari Sumatera Utara, Mandailing Natal dan legenda Gunung Batu Bangkai dari Kalimantan Selatan. Kedua cerita ini memiliki kesaman, ceritanya yang berisi tetang anak yang durhaka kepada ibunya (orang tuanya), yang tidak mau di akuinya.
 
Legenda Asal Mula Kolam Sampuraga dan legenda Gunung Batu Bangkai saling kait-mengait dan bisah dijadikan bahasan dalam studi bandingan, yang pada gilirannya mau tidak mau berlandaskan situasi geografis dan kondisi sosial budayanya masing-masing (Damono, 2005: 64-65). Dengan demikian, dapat dikaji nilai-nilai positif yang terkandung dalam kedua legenda tersebut sehingga dapat memberikan masukan kepada pembaca. Penelitian ini tidak lain merupakan sebuah usaha awal mengembengkan studi bandingan secara lebih serius dan teoretis agar dapat melahirkan pemaknaan dan pemikiran baru, serta dapat memberikan pemahaman dalam semesta pengetahuan yang lebih luas, khususnya mengenai legenda-legenda yang ada di wilayah Indonesi.


II.    Legenda Asal Mula Kolam Sapuraga dan Lagenda Gunung Batu Bangkai
Legenda Asal Mula Kolam Sampuraga
Dari : Mandailing Natal, Sumatera Utara
Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.
Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.
“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran, “Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.
“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan. Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.
“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya. “Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?”, tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru
“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu. Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga pun segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.
Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.
Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gondang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.
Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.
“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.
Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.
Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.
Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.
Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.
Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.
Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri
Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”.


Legenda Gunung Batu Bangkai
Dari : Kalimantan Selatan
Konon pada zaman dahulu, di suatu tempat di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Andung Kuswara. Ia seorang anak yang baik dan pintar mengobati orang sakit. Ilmu pengobatan yang ia miliki diperoleh dari abahnya yang sudah lama meninggal. Andung dan umanya hidup rukun dan saling menyayangi. Setiap hari mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Andung mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk dijual, sedangkan umanya mencari buah-buahan dan daun-daunan muda untuk sayur.
Suatu hari, Andung pergi ke hutan seorang diri. Karena keasyikan bekerja, tak terasa waktu telah beranjak senja, maka ia pun bergegas pulang. Di tengah perjalanan, ia mendengar jeritan seseorang meminta tolong. Andung segera berlari menuju arah suara itu. Ternyata, didapatinya seorang kai yang kakinya terjepit pohon. Andung segera menolong dan mengobati lukanya. “Terima kasih banyak, anakku!” kata orang tua itu. Dia kemudian mengambil sesuatu dari lehernya. “Hanya benda ini yang dapat kai berikan sebagai tanda terima kasih. Mudah-mudahan kalung ini membawa keberun­tungan bagimu,” ucap kai itu seraya mengulurkan sebuah kalung kepada Andung. Setelah mengobati kai itu, Andung bergegas pulang ke rumahnya.
Sesampai di rumah, Andung menceritakan kejadian tadi kepada umanya. Usai bercerita, Andung menyerahkan kalung pemberian kai itu sambil berkata, “Uma, tolong simpan kalung ini baik-baik”. Umanya menerima dan memerhatikan benda itu dengan saksama. “Sepertinya ini bukan kalung sembarangan, Nak. Lihatlah, sungguh indah!” kata Uma Andung dengan takjub. Setelah itu, Uma Andung menyimpan kalung tersebut di bawah tempat tidurnya.
Kehidupan terus berjalan. Pada suatu hari, Andung terlihat termenung seorang diri. “Ya Tuhan, apakah kehidupanku akan seperti ini selamanya? Aku ingin hari depanku lebih baik daripada hari ini. Tapi…bagaimana caranya?” kata Andung dalam hati. Sejenak ia berpikir mencari jalan keluar. Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran Andung untuk pergi merantau. “Hmm…lebih baik aku merantau saja. Dengan begitu aku dapat mengamalkan ilmu pengobatan yang telah aku peroleh dari abah dulu. Siapa tahu dengan merantau akan mengubah hidupku,” gumam Andung dengan semangat. Namun, apa yang ada dalam pikirannya tidak langsung ia utarakan kepada umanya. Rasa ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. Jika ia pergi merantau, tinggallah umanya sendiri. Tetapi, jika ia hanya mencari kayu bakar dan bambu setiap hari, lalu kapan kehidupannya bisa berubah. Pikiran-pikiran itulah yang ada dalam benaknya.
Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Andung benar-benar sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Keraguannya untuk meninggalkan umanya pun lenyap. Dorongan hati Andung untuk merantau sudah tak terbendung lagi. Suatu hari, ia pun mengutarakan maksud hatinya kepada umanya. “Uma, Andung ingin mengubah nasib kita. Andung memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Oleh karena itu, Andung mohon izin dan doa restu, Uma,” kata Andung dengan hati-hati memohon pengertian umanya. “Anakku, sebenarnya Uma sudah bersyukur dengan keadaan kita saat ini. Tetapi, jika keinginan hatimu sudah tak terbendung lagi, dengan berat hati Uma akan melepas kepergianmu,” sahut Uma Andung memberikan izin.
Setelah mendapat restu dari umanya, Andung segera berkemas dengan bekal seadanya. Andung membawa masing-masing sehelai kain, baju dan celana. Memang hanya itu yang ia miliki. Ketika Andung hendak meninggalkan gubuk reotnya, Uma berpesan kepadanya. “Andung ..., ingatlah Uma! Ingat kampung halaman dan tanah leluhur kita. Jangan pernah melupakan Tuhan Yang Mahakuasa. Walau berat, Uma tak bisa melarangmu pergi. Jika takdir menghendaki, kita tentu akan berkumpul kembali,” kata sang Uma dengan sedihnya.
Mendengar nasihat umanya, Andung tak kuasa menahan air matanya. “Andung, bawalah kalungmu ini. Siapa tahu kelak kamu memerlukannya,” ujar Uma Andung melanjutkan. Setelah menerima kalung itu, Andung kemudian berpamitan kepada umanya. Andung mencium tangan umanya, lalu umanya membalasnya dengan pelukan erat. Sesaat, suasana haru pun meliputi hati keduanya. Ketika Uma memeluk Andung, beberapa tetes air mata menyucur dari kelopak matanya, jatuh di atas pundak Andung. “Maafkan Andung, Uma! Andung berjanji akan segera kembali jika sudah berhasil,” kata Andung memberi harapan kepada umanya.
“Iya Nak. Cepatlah kembali kalau sudah berhasil! Hanya kamulah satu-satunya milik Uma di dunia ini,” jawab Uma penuh harapan. Beberapa saat kemudian, Uma berucap kepada Andung. “Segeralah berangkat Andung, agar kamu tak kemalaman di tengah hutan.” 
Andung mencium tangan umanya untuk terakhir kalinya, lalu pamit. Andung berangkat diiringi lambaian tangan Uma yang sangat dikasihinya. “Selamat jalan, anakku. Jangan lupa cepat kembali,” teriak Uma dengan suara serak. “Tentu, Uma!” sahut Andung sambil berjalan menoleh ke arah umanya. “Jaga diri baik-baik, Uma! Selamat tinggal! Uma baru beranjak dari tempatnya setelah Andung yang sangat disayanginya hilang di balik pepohonan hutan. Sejak itu, tinggallah Uma Andung sendirian di tengah hutan belantara. 
Berbulan-bulan sudah Andung meninggalkan umanya. Andung terus berjalan. Banyak kampung dan negeri telah dilewati. Berbagai pengalaman didapat. Ia juga telah mengobati setiap orang yang memerlukan bantuannya.
Suatu siang yang terik, tibalah Andung di Kerajaan Basiang yang tampak sunyi. Saat menyusuri jalan desa, Andung bertemu dengan seorang petani yang kulitnya penuh dengan koreng dan bisul. Andung kemudian mengobati petani itu. Dari orang tersebut Andung mengetahui jika Negeri Basiang sedang tertimpa malapetaka berupa wabah penyakit kulit. Karena berhutang budi kepada Andung, orang itu mengajak Andung tinggal di rumahnya. Setiap hari, penduduk yang terjangkit penyakit berdatangan ke rumah orang tua itu untuk berobat kepada Andung. Seluruh penduduk yang telah diobati oleh Andung sembuh dari penyakitnya. Berita perihal kepandaian Andung dalam mengobati pun menyebar ke seluruh negeri.
Suatu hari, berita kepandaian Andung mengobati penyakit tersebut akhirnya sampai ke telinga Raja Basiang. Sang Raja pun mengutus hulubalang menjemput Andung untuk mengobati putrinya. Beberapa lama kemudian, hulubalang tersebut sudah kembali ke istana bersama Andung. Andung yang miskin dan kampungan itu sangat takjub melihat keindahan bangunan istana. Ia berjalan sambil mengamati setiap sudut istana yang dihiasi ratna mutu manikan. Tak disadari, ternyata sang Raja sudah ada di hadapannya. Andung pun segera memberi salam dan hormat kepadanya. “Salam sejahtera, Tuanku,” sapa Andung kepada Baginda.
Sang Raja menyambut Andung dengan penuh harapan. Dia kemudian menyampaikan maksudnya kepada Andung. “Hai anak muda! Ketahuilah, putriku sudah dua minggu tergolek tak berdaya. Semua tabib di negeri ini sudah saya kerahkan untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya. Apakah kamu bersedia menyembuhkan putriku?” tanya sang Raja. “Hamba hanya seorang pengembara miskin. Pengetahuan obat-obatan yang hamba miliki pun sedikit. Jika nantinya hamba gagal menyembuhkan Tuan Putri, hamba mohon ampun Paduka,” kata Andung merendah.
Andung pun dipersilakan masuk ke kamar Putri. Putri tergolek kaku di atas pembaringannya. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tertutup rapat. Walupun pucat pasi,  wajah sang Putri tetap memancarkan sinar kecantikannya. “Aduhai, cantik sangat sang Putri,” ucap Andung menaruh hati kepada sang Putri. Sesaat kemudian, Andung pun mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk membangunkan sang Putri. Namun, sang Putri tetap tak bergerak. Andung mulai panik. Tiba-tiba, hati Andung tergerak untuk mengambil kalung pemberian kai yang ditolongnya dulu. Andung meminta kepada pegawai istana agar disiapkan air dalam mangkuk. Setelah air tersedia, lalu Andung segera merendam kalungnya beberapa saat. Kemudian air rendaman diambil dan dibacakan doa, lalu ia percikkan beberapa kali ke mulut sang Putri. Tak berapa kemudian, sang Putri pun terbangun. Matanya yang kuyu perlahan-lahan terbuka. Wajahnya segar kembali. Akhirnya, Putri dapat bangkit dan duduk di pembaringan.
Semua penghuni istana turut bergembira dan merayakan kesembuhan sang Putri. Paduka Raja sangat berterima kasih atas kesembuhan putri satu-satunya yang sangat ia cintai Atas jasanya tersebut, Andung kemudian dinikahkan dengan sang Putri. Pesta perkawinan dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Semua rakyat bersuka ria merayakannya. Putri tampak berbahagia menerima Andung sebagai suaminya. Demikian pula Andung yang sejak pandangan pertama sudah jatuh cinta pada sang Putri. Mereka berdua melalui hari-hari dengan hidup bahagia.
Minggu dan bulan terus berganti. Istri Andung pun hamil. Dalam kondisi hamil muda sang Putri mengidam buah kasturi yang hanya tumbuh di Pulau Kalimantan. Karena cintanya kepada sang Putri begitu besar, Andung pun mengajak beberapa hulubalang dan prajurit untuk ikut bersamanya mencari buah kasturi ke Pulau Kalimantan.
Setibanya di Pulau Kalimantan, Andung berangkat ke daerah Loksado untuk mencari sebatang pohon kasturi yang dikabarkan sedang berbuah di sana. Alangkah terkejutnya Andung, karena pohon kasturi itu berada tepat di depan rumahnya dulu.  Andung segera mengajak hulubalang dan para prajuritnya kembali. Rupanya ia tidak mau bertemu dengan umanya.
Mendengar keributan di luar rumahnya, seorang nenek tua renta berjalan terseok-seok menuju ke arah rombongan tersebut. “Andung..., Andung Anakku...!” suara nenek tua yang serak memanggil Andung. Dengan terbungkuk-bungkuk nenek itu mengejar rombongan Andung.
Andung menoleh. Ia tersentak kaget melihat sang Uma yang dulu ditinggalkannya sudah tua renta. Karena malu mengakui sebagai umanya, Andung membentak, “Hai nenek tua! Aku adalah raja keturunan bangsawan. Aku tidak kenal dengan nenek renta dan dekil sepertimu! ujar Andung kemudian memalingkan muka dan pergi.
Hancur luluh hati sang Uma dibentak dan dicaci maki oleh putra kandungnya sendiri. Nenek tua yang malang itu pun berdoa, “Ya, Tuhan Yang Mahakuasa, tunjukkanlah kekuasaan dan keadilan-Mu,” tua renta itu berucap pelan dengan bibir bergetar. Belum kering air liur tua renta itu berdoa, halilintar sambar-menyambar membelah bumi. Kilat sambung-menyambung. Langit mendadak gelap gulita. Badai bertiup menghempas keras. Tak lama kemudian, hujan lebat tumpah dari langit. Andung berteriak dengan keras, “Maafkan aku, Uma...!” Tapi siksa Tuhan tak dapat dicabut lagi. Tiba-tiba Andung berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia.
Sejak itu, penduduk di sekitarnnya menamai gunung tempat peristiwa itu terjadi dengan sebutan Gunung Batu Bangkai, karena batu yang mirip bangkai manusia itu berada di atas gunung. Gunung Batu Bangkai ini dapat dijumpai di Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.



III. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN LEGENDA ASAL MULA KOLAM SAMPURAGA DAN LEGENDA GUNUNG BATU BANGKAI

Persaman Cerita Legenda Sampuraga dan Legenda Gunung Batu Bangkai
1.      Persamaan Tema
Berdasarkan cerita di atas memiliki persamaan tema yakni adalah sama-sama menceritakan tentang anak durhaka.
Legenda Sampuraga dikutuk karena malu dan tidak mengakui ibunya yang janda tua dan  punya ibu yang jelek. Sama dengan Legenda Gunung Batu Bangkai yang malu melihat Umanya yang renta dan dekil, sehingga ibunya kecewa dan mengutuknya.

2.      Persamaan Kebudayaan Merantau
Legenda Sampuraga dan Legenda Gunung Batu Bangkai memiliki kesamaan yakni dari kedua daerah tersebut memilki kebudayaan merantau untuk mengubah nasib lebih baik.
Dalam Legenda Sampuraga merantau dengan berjalan kaki menyusuri hutan, dan Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya, kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, sama dengan Legenda Gunung Batu Bangkai merantau dengan berjlan kaki menyusuri hutan, dan Andung kemudian berpamitan kepada umanya. Andung mencium tangan umanya, lalu umanya membalasnya dengan pelukan erat.

3.      Persamaan Tempat Tinggal
Lagenda Sampuraga dan Legenda Gunung Batu Bangkai memiliki kesamaan tempat tinggal yaitu digubuk reyot bersama ibu (janda tua).
Legenda Asal Mula Kolam Sampuraga : hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga.
Legenda Gunung Batu Bangkai : hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Andung Kuswara. Ketika Andung hendak meninggalkan gubuk reotnya.

4.      Persaman menikah dengan putri.
Legenda Sampuraga dan Legenda Gunung Batu Bangkai memiliki kesamaan yaitu sama-sama dinikahkan (dijodohkan) dengan putri.
Legenda Sampuraga : Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Legenda Gunung Batu Bangkai : Paduka Raja sangat berterima kasih atas kesembuhan putri satu-satunya yang sangat ia cintai atas jasanya tersebut, Andung kemudian dinikahkan dengan sang Putri.

Perbedaan Cerita Legenda Sampuraga dan Legenda Gunung Batu Bangkai
1.      Perbedaan kutukan yang dialami tokoh utama dalam cerita.
Legenda gunung batu bangkai dengan tokoh yang bernama Andung Kuswara, di kutuk menjadi batu berbentuk bangkai manusia.
Sedangkan legenda asal mula kolam Sampuraga, dengan tokoh bernama Sampuraga, di kutuk menjadi kolam air yang sangat panas.

2.      Perbedaan pekerjaan setiap hari tokoh utama.
Pekerjaan setiap hari Sampuraga, sebagai tenaga upahan di ladang.
Sedangkan pekerjaan setiap hari Andung Kuswara, mencari kayu bakar atau bambu ke hutan.

3.      Perbedaan pergi merantau.
Andung Kuswara pergi merantau, dengan mengamalkan ilmu pengobatan yang telah di peroleh dari abahnya.
Sedangkan Sampuraga pergi merantau, mencari pekerjaan (melamar pekerjaan)



IV. PERBANDINGAN LEGENDA ASAL MULA KOLAM SAMPURAGA  DAN GUNNUNG BATU BANGKAI
Legenda Asal Mula Kolam Sampuraga dari Sumatera Utara dan Legenda Gunung Batu Bangkai dari Kalimantan Selatan, sebenarnya memiliki cerita yang hampir sama. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, inti ceritanya adalah mengenai seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya, dan akhirnya dikutuk. Akan tetapi, bila dikaji lebih teliti, ada substansi yang berbeda dari legenda Asal Mula Kolam Sampuraga dan legenda Gunung Batu Bangkai. Berikut ini adalah beberapa perbedaan yang terdapat dalam legenda Asal Mula Kolam Sampuraga dan Gunung Batu Bangkai.
 
4.1 Tabel perbandingan Legenda Sampuraga dan Legenda Gunung Batu Bangkai
No
KETERANGAN
SAMPURAGA
GUNUNG BATU BANGKAI
1
Tokoh Utama
Sampuraga
Andung Kuswara
2
Orang tua tokoh utama
Ibu sapuraga (janda tua)
Uma dan Abah
3
Tokoh lain
Majikan. Putri, Algojo.
Kai, Raja Basiang, Tuan Putri, Hulubalang.
4
Pekerjaan tokoh utama
bekerja sebagai tenaga upahan di ladang
Mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk dijual.
5
Tempat kejadian
Mandailing Natal, Sumatera Utara, Padang Bolak.
Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
6
Akibat tidak mau mengakui ibu kandungnya.
Tempat pernikahan Sampuraga dan istrinya itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan.
Andung berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia. (yang terletak di atas gunung, dan diberi nama gunung batu bangkai, oeh penduduk sekitarnya).
7
Keahlian yang dimiliki

Andung Kuswara pintar mengobati orang sakit (Ilmu pengobatan)



4.2 Tabel faktor yang menyebabkan perbedaan cerita dalam Legenda Sampuraga dan Legenda Gunung Batu Bangkai
No
FAKTOR
SAMPURAGA
GUNUNG BATU BANGKAI
1
Kondisi geografis
a.    Ladang
Sampuraga setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain
a.    Hutan
Andung Kuswara mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk dijual
2
Kondisi sosial budaya
a.    Nama tokoh disesuaikan
ü  Pemuda : Sampuraga
b.   Kesenian
ü  Gordang Sambilan dan Gondang Boru
a.   Nama tokoh disesuaikan
ü  Pemuda : Andung Kuswara
ü  Uma       : Ibu                                       
ü  Kai         : Kakek
ü  Abah      : Ayah


V.    KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) DALAM LEGENDA KOLAM SAMPURAGA DAN GUNUNG BATU BANGKAI
Sebuah karya sastra, termasuk lagenda, pastilah mempunyai kehidupan. Ia lahir pada suatu waktu tertentu, mengalami perubahan, dan dapat musnah (Wellek, 1989: 191). Agar lagenda tidak musnah sia-sia, perlu digali nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya sehingga mampu memberikan suatu kontribusi pemahaman baru didalam kehidupan masyarakat yang terus mengalami perkembangan, berhadapan dengan arus globalisasi, teknologi yyang semakin maju, dan kemoderan.
5.1   Konsep Kearifan lokal
Kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang bijaksana, berilmu, berguna, dan bermamfaat yang berkembang dan ada dari tradisi dan budaya suatu kelompok, komunitas, ataupun suku bangsa tertentu yang bisa diambil, dipelajari, dan dimanfaatkan bagi kehidupan.


Di dalam masyarakat niraksara,sastra lisan, termasuk lagenda, berpungsih sebagai wadah kalimat tradisonal yang mengandung adad-istiadat, konvennsi, sistem nilai, dan berbagai norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Mempelajarinya dan memahaminya dalam konteks dan kaitan latar belakang sejarah kebudayaan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan dan pemahaman yang lebih untuk mengenai sejarah, kebudayaan, dan pandangan dunia kelompok masyarakat yang bersangkutan. Lagenda sebagai produk budaya kolektif mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang sangat bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya maupun pembangunan dalam konteks global yang menyeluruh.    
5.2  Legenda Asal Mula Kolam Sampuraga dan Pesan Moral yang Terkandung di Dalamnya
Legenda Asal Mula Kolam Sampuraga yang telah melekat dalam kolektifnya, bahkan sudah tidak asing bagi masyarakat umum, terutama masyarakat Mandailing Natal, tepatnya di daerah Padang Bolak. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.
Sampuraga telah merasakan sendiri akibat dari sifat durhakanya yang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri (orang tuanya), ia telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas.
5.3 Legenda Gunung Batu Bangkai dan Pesan Moral yang Terkandung di Dalamannya
Legenda Gunung Batu Bangkai yang telah melekat dalam kolektif, bahkan sudah tidak asing bagi masyarakat umum, terutama masyarakat Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat penolong, dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Andung Kuswara.
Andung Kuswara telah merasakan sendiri akibat dari sifat durhakanya yang tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri (orang tuanya), ia telah berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia.
5.4 Kesimpulan pesan moral yang disampaikan dari cerita dalam Legenda Sampuraga dan Legenda Gunung Batu Bangkai
Pesan moral yang disampaiakn dari cerita diatas adalah sama. Kisah Lagenda Sampuraga dan Lagenda Gunung Batu Bangkai sama-sama mengambarkan Kedurhakaan kepada orang tua. Dan diharapkan Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orang tua terutama kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak. Dan semua keberhasilan yang didapat kalo tidak karena doa restu dari orang tua seorang anak tidak  pernah berhasil mencapai kesuksesan.
5.5  Legenda  Gunung Batu Bangkai sebagai Manifestasi Kearifan Lokal Kalimantan Selatan
Legenda Gunung Batu Bangkai merupakan salah satu dari sekian banyak legenda yang diwarisi suku Banjar. Suku Banjar adalah penduduk Kalimantan Selatan yang secara historis sebenarnya adalah hasil pembauran yang lama antara suku bangsa Melayu tua (proto Melayu) yang mula-mulanya mendiami daerah ini, dengan suku-suku bangsa yang datang kemudian yaitu melayu muda (deoteru melayu) yang kemudian mendiami daerah pantai dan tepian sungai besar.
ETNOGRAFI BANJAR
Etnografi Banjar dapat diartikan sebagai uraian dan gambaran tentang berbagai macam unsur kebudayaan masyarakat Banjar seperti bahasa, mata pencaharian, sistem teknologi, organisasi sosial, kesenian, sistem pengetahuan, upacara adat, unsur pengobatan dan religi.
Etnografi Banjar juga mendeskripsikan bagaimana pola hidup masyarakat Banjar, cara berbicara, bertindak, bertingkah laku dan menghasilkan sesuatu dengan berbagai sudut pandang berdasarkan kajian kebudayaan masyarakat Banjar itu sendiri.

Etnografi banjar juga menjelaskan bagaimana perbedaan antara kebudayaan banjar yang menjadi ciri khas masyarakat banjar dengan kebudayaan lain. Dalam kajian Etnografi Banjar ini kita bisa melihat bagaimana kebudayaan masyarakat Banjar itu terbentuk dan berkembang hingga sekarang.
5.5.1 Kearifan Lokal Terhadap Lingkungan Alam
Legenda Gunung Batu Bangkai mengisahkan seorang pemuda bernama Andung kuswara yang pekerjaannya mencari kayu bakar atau bambu ke hutan. Berikut beberapa petikan kisahnya.
Setiap hari, Andung mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk dijual.
Dari petikan di atas, tergambar bagaimana cara Andung Kuswara, sebagai bagian dari masyarkat asli Kalimantan Selatan secara keseluruhan, memperlakukan lingkungan alamnya, dalam hal ini hutan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Dengan peralatan seadanya dan sangat tradisonal, mereka berusaha menjaga kelestarian alamnya secara keseluruhan. Mereka tidak merusak hutan dengan cara menebang dan membakar hutan sembarangan yang dapat mengganggu kelangsungan ekosistem di dalamnya.Jenis pohon tertentu hanya digunakan untuk keperluan tertentu pula. Kearifan lokal ini telah diwariskan oleh nenek-moyang secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Tradisi itulah yang menjaga mereka dari bencana yang dewasa ini terjadi pada hutan-hutan yang telah dikuasai pihak asing, orang-orang yang mengantonggi izin HPH dan HTI dari pemerintah. Suku asli Kalimantan Selatan mengetahui dan memtaati ketentuan yang berlaku di hutan-hutan Kalimantan. Kawasan-kawasan hutan telah diatur peruntukannya masing-masing, sehingga dapat dimamfaatkan bersama dan tidak menimbulkan bencana yang dapat merugikan kehidupan mereka di kemudian hari.
   




VI. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sastra bandingan kita dapat melihat kesamaan dari cerita rakyat tersebut yang mengangkat tema yang sama. Seperti Legenda Asal Mula Kolam Sampuraga, dengan Legenda Gunung Batu Bangkai sama-sama bertemakan “Anak Durhaka” dan dapat dilihat secara signifikan dari isi cerita yang memiliki banyak kesamaan mulai dari penokohan isi cerita dan akhir cerita dan dengan adanya sastra bandingan ini juga dapat diketahui bahwa adanya pengaruh cerita rakyat Legenda Batu Balai dan Legenda Batu Bagga yakni kedua karya sastra tersebut memiliki hubungan sejarah, baik langsung maupun tidak langsung. Ini dapat dilihat bahwa asal cerita tersebut masih dalam ruang lingkup kawasan Negara yang sama yakni sama-sama dari Indonesia.
Legenda Asal Mula Kolam Sampuraga dari Mandailing Natal Sumatera Utara dan Legenda Gunung Batu Bangkai dari Kalimantan Selatan merupakan warisan bangsa Indonesia yang sangat bernilai. Dikatakan bernilai karena di dalamnya mengandungg kearifan lokal yang dapat diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kearifan lokal di sejumlah daerah dewasa ini mulai merosot karena telah berkurangnya rasa kepedulian dan tanggapan positif, terutama di kalangan generasi muda. Salah satu sebab mulai berkurangnya rasa kepedulian dan tanggung jawab terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang mulai merosot tajam adalah karena sejumlah tokoh panutan dalam masyarakat memilki pandangan atau ideologi pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan teknologi, tetapi sebaliknya tidak seimbang dalam menyertakan pertimbangan yang memadai terhadap nilai-nilai atau kearifan lokal yang merupakan kekayaan budaya masyarakat. Dengan demikian, dalam banyak hal, ketidak seimbangan padangan itu dapat berdampak negatif terhadap cara berpikir dan bertindak masyarakat.
Kajian yang melingkupi dua legenda dari dua daerah yang berbeda ini pada dasarnya tidak memiliki perbedaan mutu. Keduanya mewakili daerahnya masing-masing yang sama-sama memiliki nilai-nilai tertentu yang dapat meluaskan wawasan mengenai hasil budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.


 Selain itu, dengan studi bandingan ini dapat tergambar perkembangan buah pikiran dalam kehidupan manusia dan bagaimana buah pikiran tersebut muncul dan meluas ke berbagai tempat dan bangsa di dunia sehingga perspekif mengenai aspek kehidupan manusia mendapat masukan yang semakin luas.
Legenda yang memiliki empat fungsi, antara lain (1) sebagai sistem proyeksi, (2) sebagai alat pengesahan budaya,  (3) sebagai alat padagogik, dan (4) sebagai alat pemaksa berlakunya norma masyarakat dan pengendalian masyarakat, memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa sesungguhnya banyak hal positif yang bisah digali di dalamnya agar keseimbangan dalam kehidupan dapat tercapai.
Sebuah karya, mampu bicara banyak tentang gejala sosial, tentang kehidupan kultur, dan manusia yang diwarnai oleh pola kultur itu. Bahkan, banyak nuansa yang lebih dalam yang mungkin tidak mampu ditampilkan oleh karya-karya ilmiah atau hasil-hasil penilaian ilmiah yang excellence sekalipun (Siahaan dalam Suryadi, 2008 : xi). Begitu pula dengan legenda, tergambarkan suatu kehidupan kultural masyarakat yang masih dikatakan primitive, tetapi sebenarnya telah memiliki suatu cara yang canggih dalam memanfaatkan lingkungannya dalam rangka mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Lubis (1996: 26) mengatakan sebuah karya (termasuk lagenda) merupakan makna kehidupan manusia dan satu masyarakat, dank arena itu berperan pula sebagai jembatan kesinambungan berbagai nilai manusia dan masyarakat. Nilai-nilai, pikiran-pikiran, dan falsafah yang terkandung di dalamnya dengan tidak terasa berbicara, membentuk nilai, dan sikap, dan dengan demikian turut berperan dalam suatu perubahan masyarakat. Lewat studi sastra dan budaya, kita mencoba merefleksi apa yang telah dilakukan makhluk tertinggi yang bernama manusia. Semoga penelitian ini bisa mendeskripsikan apa yang dicoba direfleksikan tersebut dan menjadi alternatif untuk mensosialisasikan nilai-nilai kearifan lokal, seperti melestarikan sumber daya alam, dan berguna untuk mengatasi konflik terjadi akibat “durhaka kepada orang tua”. Kajian lanjutan yang lebih mendalam diharafkan akan lebih memuaskan. Artinya, masih terbuka peluang bagi penelitian selanjutnya yang diharapkan lebih memadai hasilnya.           



DAFTAR PUSTAKA

Damono,Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia; Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Hutomo, Suripan Hadi. 1993. Merambah Matahari Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa.
Setyawan, Dwianto. 1997. Cerita Rakyat dari Jawa Timur. Jakarta: Grasindo.
Wellek, Rene dan Warren. 1989. Teori Kesusastraan (terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
James P. Sprandley. Metode Etnografi, pengantar dari DR. Amri Marzali MA

0 komentar: